Oleh: Jemmi Polando
Maraknya tindak pidana kekerasan seksual belakangan ini, khususnya yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi wajib melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual melalui, pembelajaran, penguatan tata Kelola, dan penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia pada Pasal 1 menjelaskan bahwa, “kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehakan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu Kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan Pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Di sisi lain, negara menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pencegahan melalui pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.
Maka dari itu, untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di mana pun yang terjadi khususnya di perguruan tinggi, perlu pengaturan yang menjamin kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan sesksual di lingkungan perguruan tinggi.
Seperti diketahui bahwa, bentuk-bentuk kekerasan seksual yaitu, verbal (seperti melecehkan tampilan fisik), Non Fisik (seperti memperlihatkan alat kelamin), Fisik (seperti menyentuh, memeluk, mencium) serta melalui Teknologi Informasi (seperti mengirim pesan yang bernuansa seksual).
Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban, memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban.
Selain itu, menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman, mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban, mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban, mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
Tak saja itu, menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban, mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi, membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban, memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual, menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.
Bentuk kekerasan lainnya juga berupa, membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban, memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual, mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual, melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi, melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin, memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi, memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil, membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau, melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya
Penghapusan kekerasan seksual di perguruan tinggi perlu kita dukung sepenuhnya melalui peraturan Kemendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 karena faktanya, kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan perguruan tinggi dan sering kali tidak tertangani. Kemudian, ada kekosongan hukum atau belum ada peraturan sebelumnya yang mengatur demi kemanusiaan dan keadilan korban.
Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b diberikan kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.
Pelindungan kepada Korban atau saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi Mahasiswa, jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan, jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum, pelindungan atas kerahasiaan identitas, penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan dan penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan.
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19 Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa: penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi.
Di sisi lain juga, tidak satu orang pun pantas menerima kekerasan seksual ini. Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sering kali terjadi dan tidak tertangani dengan semestinya sehingga berdampak luar biasa terhadap kondisi mental dan fisik korban. Maka dari itu, saya mendukung penuh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang.