Oleh: Sri Zulfida, S.Pdi, MA. Dosen STAIN SAR, Mahasiswa Program Doktoral UNJ Penerima Beassiwa LPDP
TANJUNGPINANG, Kepri.info – Dari Penegakan ke Pemulihan: Paradigma Baru Kejaksaan
Dalam narasi besar pembangunan nasional, hukum sering kali dipandang sebagai pagar—sesuatu yang membatasi. Namun, di tangan lembaga yang memiliki visi kenegaraan, hukum dapat menjadi mesin penggerak perubahan. Kejaksaan Agung Republik Indonesia kini tengah menapaki babak baru dalam sejarahnya: dari sekadar penegak hukum yang menindak, menjadi penegak hukum yang memulihkan—baik kerugian negara maupun kepercayaan publik.
Presiden Prabowo Subianto, dalam pernyataannya usai menerima laporan pengembalian keuangan negara dari kasus ekspor CPO (Crude Palm Oil), menyampaikan hal yang menandai arah baru hubungan antara hukum dan pembangunan. Beliau menegaskan bahwa uang hasil pengembalian keuangan negara itu akan digunakan untuk pendanaan pendidikan nasional, termasuk LPDP, serta pengembangan kawasan desa nelayan.
Pernyataan ini mengandung pesan strategis: hukum tidak boleh berhenti di meja sidang. Hukum harus kembali ke masyarakat, menjadi energi yang menggerakkan bangsa menuju kemandirian ekonomi dan keadilan sosial. Di sinilah Kejaksaan Agung tampil bukan sekadar penuntut umum, tetapi lokomotif pemulihan ekonomi bangsa.
Meneguhkan Peran Hukum sebagai Alat Pembangunan
Dalam konsepsi hukum pembangunan yang dirintis Prof. Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat. Pandangan ini kini menemukan bentuk konkretnya dalam praktik Kejaksaan Agung. Dengan mengembalikan kerugian negara dari berbagai kasus korupsi, Kejaksaan telah menghidupkan kembali fungsi hukum sebagai alat pembangunan nasional.
Kita menyaksikan bagaimana hasil kerja keras Kejaksaan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin telah menghasilkan capaian luar biasa: triliunan rupiah dikembalikan ke kas negara dari perkara besar seperti BLBI, Asabri, Jiwasraya, dan ekspor CPO. Tidak berlebihan jika publik menilai Kejaksaan saat ini bukan hanya “penjaga hukum”, tetapi juga penjaga ekonomi bangsa.
Sebagaimana ditegaskan oleh Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan, penegakan hukum yang sejati bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memulihkan hak-hak negara dan rakyat. Paradigma ini menggugah kesadaran bahwa penegakan hukum harus melampaui dimensi retributif (pembalasan), menuju dimensi restitutif (pemulihan).
Kejaksaan sebagai Lokomotif Pemulihan Ekonomi
Istilah “lokomotif pemulihan ekonomi” bukan sekadar retorika. Ia lahir dari realitas konkret di lapangan. Ketika Kejaksaan berhasil mengembalikan aset negara dari hasil kejahatan korupsi, maka efeknya langsung terasa pada kestabilan fiskal dan kepercayaan publik.
Perekonomian yang sehat membutuhkan pondasi hukum yang kokoh. Tanpa kepastian hukum, investor enggan masuk, dan tanpa keadilan hukum, masyarakat kehilangan motivasi untuk berpartisipasi. Kejaksaan berada di simpul penting antara keduanya.
Transformasi Kejaksaan dalam menegakkan hukum ekonomi memperlihatkan bahwa penegakan hukum tidak harus anti-investasi. Justru sebaliknya, dengan kepastian hukum dan ketegasan terhadap pelanggaran, Kejaksaan menciptakan iklim ekonomi yang lebih bersih dan berdaya saing.
Melalui kebijakan asset recovery (pemulihan aset), Kejaksaan bukan hanya memulihkan keuangan negara, tetapi juga menegaskan prinsip “law for prosperity”—bahwa hukum bekerja untuk kesejahteraan rakyat.
Sinergi Nasional: Kejaksaan, Kemenhan, TNI, BIG, BPKP, dan KLHK
Salah satu wujud konkret komitmen tersebut terlihat dari pembentukan Satgas Pengamanan Kekayaan Negara (Satgas PKH) di bawah koordinasi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Satgas ini berperan strategis dalam melacak, mengamankan, dan memulihkan aset negara dari tangan-tangan yang tidak berhak.
Yang menarik, Satgas PKH tidak bekerja sendirian. Dalam semangat whole of government approach, Kejaksaan bersama Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kolaborasi lintas sektor ini menghasilkan keberhasilan yang signifikan, terutama dalam penyelamatan hutan dan kawasan negara yang sebelumnya dikuasai secara ilegal.
Dengan bantuan data geospasial dari BIG dan audit investigatif dari BPKP, Satgas PKH mampu mengidentifikasi ribuan hektar lahan yang status hukumnya tumpang tindih dan tidak memiliki dasar legal yang sah.
Hasilnya, ratusan ribu hektar hutan—yang merupakan aset kekayaan negara—berhasil dikembalikan.
Langkah ini tidak hanya menghindarkan negara dari kerugian ekonomi yang besar, tetapi juga menyelamatkan lingkungan dari eksploitasi berlebihan. Dalam konteks global, keberhasilan ini memperkuat posisi Indonesia dalam komitmen perubahan iklim dan ekonomi hijau.
Satgas PKH: Dari Pemulihan Aset ke Perlindungan Kedaulatan Alam
Di bawah komando Jampidsus Febrie Adriansyah selaku Sekretaris Satgas PKH yang ditunjuk langsung oleh Presiden Prabowo, telah menunjukkan kinerja luar biasa dalam mengembalikan aset negara senilai puluhan triliun rupiah, baik dalam bentuk uang tunai, properti, saham, hingga lahan produktif. Namun, salah satu pencapaian yang paling strategis adalah penyelamatan kawasan hutan produksi dan konservasi yang sebelumnya digunakan secara ilegal oleh korporasi besar.
Satgas PKH bekerja dengan prinsip restoratif dan strategis: bukan hanya mengejar pelaku, tetapi memastikan bahwa aset yang telah diselamatkan kembali memberi manfaat bagi negara dan rakyat.
Dengan menggandeng Kementerian Kehutanan, Satgas PKH melakukan pemetaan ulang izin usaha dan tata kelola lahan berbasis sistem digital yang transparan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam berbagai forum menegaskan bahwa penyelamatan hutan adalah bagian dari perlindungan aset ekologis negara. Hutan adalah paru-paru ekonomi nasional. Ia menyediakan bukan hanya oksigen, tetapi juga keadilan generasi—warisan bagi anak bangsa. Ketika Kejaksaan ikut menjaga hutan, sesungguhnya ia sedang menjaga kedaulatan sumber daya alam bangsa.
Kasus CPO: Momentum Kebangkitan Hukum Ekonomi Nasional
Kasus ekspor CPO menjadi titik balik penting dalam sejarah penegakan hukum ekonomi di Indonesia. Dari kasus ini, Kejaksaan tidak hanya mengungkap jaringan korupsi lintas sektor yang merugikan negara triliunan rupiah, tetapi juga berhasil mengembalikan dana dalam jumlah besar ke kas negara.
Presiden Prabowo menyampaikan apresiasi terbuka terhadap Kejaksaan atas keberhasilan tersebut. Dalam arahannya, Presiden menegaskan bahwa uang hasil pemulihan tersebut akan digunakan untuk pembiayaan pendidikan nasional (termasuk Beasiswa) dan pembangunan desa nelayan.
“Negara ini kuat karena hukum berdiri tegak. Uang hasil korupsi tidak boleh berhenti di ruang sidang. Ia harus kembali ke rakyat—untuk beasiswa anak-anak bangsa dan kesejahteraan para nelayan yang menjaga laut kita,” ujar Presiden.
Pernyataan ini meneguhkan bahwa hukum kini menjadi bagian integral dari kebijakan fiskal nasional. Uang hasil penegakan hukum menjadi dana pembangunan yang nyata, menghubungkan justice system dengan development system.
Dengan demikian, Kejaksaan bukan sekadar institusi hukum, tetapi juga aktor pembangunan nasional yang berperan langsung dalam memperkuat ketahanan ekonomi rakyat.
Dari Ruang Sidang ke Ruang Hidup Bangsa
Perubahan paradigma ini menggambarkan transformasi besar dalam sistem penegakan hukum kita. Dahulu, keberhasilan penegakan hukum diukur dari beratnya hukuman. Kini, keberhasilan diukur dari berapa besar manfaat yang kembali dirasakan oleh negara dan rakyat.
Dari ruang sidang, Kejaksaan membawa hukum kembali ke ruang kehidupan bangsa—ke sekolah-sekolah lewat dana pendidikan, ke dermaga lewat pembangunan desa nelayan, dan ke hutan lewat pemulihan ekosistem yang lestari.
Inilah esensi dari hukum progresif: hukum yang tidak kaku pada teks, tetapi hidup bersama masyarakatnya.
Penegakan Hukum Berbasis Kedaulatan Ekonomi
Kejaksaan Agung, dalam konteks ini, menjadi benteng kedaulatan ekonomi Indonesia. Di tengah ancaman globalisasi yang sering melemahkan kontrol negara terhadap sumber daya strategis, penegakan hukum yang kuat menjadi alat untuk mempertahankan kemandirian bangsa.
Pemulihan aset-aset negara bukan sekadar tindakan administratif, melainkan tindakan politik hukum berdaulat. Ia menegaskan bahwa negara tidak tunduk pada korporasi atau kekuatan modal, tetapi berdiri tegak atas nama rakyat.
Sebagaimana pernah disampaikan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin, “Setiap rupiah yang kembali ke kas negara adalah napas baru bagi kedaulatan bangsa.” Dalam konteks geopolitik ekonomi modern, penegakan hukum yang melindungi aset strategis—baik itu keuangan, tanah, hutan, atau energi—adalah bentuk nyata pertahanan negara di luar militer.
Hukum, Keadilan, dan Ketahanan Nasional
Kekuatan hukum menentukan ketahanan nasional. Ketika hukum ditegakkan dengan konsisten, maka keadilan sosial dapat terwujud, dan dari sanalah muncul kepercayaan publik yang menjadi energi politik bangsa.
Kejaksaan Agung, dengan reformasi dan keberhasilan yang dicapai, telah memperlihatkan bagaimana hukum dan pembangunan saling menopang. Ketahanan nasional bukan hanya tentang senjata, tetapi tentang ketahanan moral, ekonomi, dan hukum. Keadilan yang ditegakkan Kejaksaan bukan hanya soal hukuman, melainkan pemulihan kepercayaan rakyat terhadap negara. Ketika rakyat melihat bahwa hasil kejahatan ekonomi dikembalikan untuk membiayai pendidikan dan kesejahteraan, mereka kembali percaya bahwa hukum masih berpihak pada mereka.
Refleksi: Dari Kerugian ke Kekuatan
Tulisan ini hendak menegaskan satu hal mendasar: bahwa dari kerugian, bangsa ini dapat melahirkan kekuatan. Kejaksaan Agung telah membuktikan bahwa setiap kasus korupsi yang dibongkar, setiap aset yang dikembalikan, adalah simbol perlawanan bangsa terhadap ketidakadilan struktural.
Hukum yang ditegakkan dengan integritas bukan hanya menegakkan keadilan, tetapi juga membangun peradaban. Dari ruang sidang yang penuh dengan berkas dan fakta hukum, Kejaksaan membawa pesan besar: bahwa hukum bukan hanya soal benar dan salah, tetapi soal masa depan bangsa.
Penutup: Menatap Indonesia yang Tumbuh dari Keadilan
Kejaksaan Agung kini berada pada titik sejarah di mana kehadirannya menentukan arah masa depan bangsa. Dengan paradigma baru yang memadukan penegakan hukum, pemulihan aset, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, Kejaksaan telah memperlihatkan wajah hukum yang berpihak pada kemajuan dan keadilan.
Presiden Prabowo menyebutkan, bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang berani menegakkan hukum untuk kepentingan rakyatnya. Dan Kejaksaan, dalam misinya hari ini, telah menjadi simbol keberanian itu. Dari ruang sidang hingga ruang kehidupan bangsa, hukum kini tidak lagi menjadi beban, melainkan kekuatan moral dan ekonomi untuk menjaga ketahanan nasional. (Opini)