Oleh: Andika Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji
Desentralisasi pasca reformasi 1998 bertujuan memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengelola pemerintahan dan sumber daya lokal. Melalui UU No. 22/1999 yang kemudian diperbarui menjadi UU No. 23/2014, daerah diharapkan mampu membangun sesuai kebutuhan lokal.
Namun, praktik desentralisasi tidak selalu berjalan ideal, seperti terlihat pada Kota Batam yang mengalami dualisme kewenangan antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).
Batam sejak 1970-an dikembangkan pemerintah pusat sebagai kawasan industri strategis. Walau menjadi daerah otonom, BP Batam tetap menguasai pengelolaan lahan, investasi, dan aset strategis. Hal ini menciptakan “otonomi yang terbatas” karena kewenangan penting masih dipegang pemerintah pusat.
Dalam teori desentralisasi, fenomena ini disebut asymmetric decentralization, di mana sebagian kewenangan sengaja tidak diberikan kepada daerah karena dianggap berkaitan dengan kepentingan nasional.
Masalah utama yang muncul adalah pengelolaan lahan. BP Batam menguasai seluruh aset negara di Batam, sementara pemerintah kota tidak memiliki kewenangan pertanahan. Investor maupun masyarakat harus berurusan dengan dua lembaga sekaligus: BP Batam untuk lahan, dan pemerintah kota untuk perizinan administratif.
Prosedur yang berlapis ini menghambat kepastian usaha dan menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat. Dari sisi keuangan, Batam sebagai kota industri seharusnya memiliki kemandirian
fiskal.
Namun sebagian besar pendapatan dari kawasan industri mengalir ke pusat melalui BP Batam, sehingga pemerintah kota masih bergantung pada dana transfer seperti DAU dan DAK. Hal ini menunjukkan bahwa Batam belum mandiri secara fiskal meskipun menjadi pusat ekonomi nasional.
Dalam aspek pelayanan publik, dualisme kewenangan membuat kualitas layanan berada di bawah harapan. Pemerintah kota bertanggung jawab pada layanan dasar, sedangkan BP Batam fokus pada pembangunan industri.
Ketimpangan pembangunan pun muncul: kawasan industri modern berkembang pesat, namun sebagian masyarakat masih menghadapi masalah sosial seperti pemukiman kumuh dan ketimpangan pendapatan.
Melalui PP No. 62/2019, pemerintah pusat mencoba menyatukan kepemimpinan dengan menjadikan Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam. Namun kebijakan ini dianggap tidak menyelesaikan akar masalah karena tetap menegaskan dominasi pusat atas daerah.
Kasus Batam menunjukkan dilema besar desentralisasi di Indonesia: benturan kepentingan nasional dengan kebutuhan kemandirian lokal. Pembatasan kewenangan justru menghambat inovasi kebijakan daerah dan memperkuat ketergantungan terhadap pusat.
Agar Batam berkembang sebagai kota industri berkelas global, diperlukan kejelasan pembagian kewenangan, sinkronisasi pembangunan, penguatan kapasitas fiskal daerah, serta orientasi pembangunan yang lebih inklusif bagi masyarakat.
Secara Keseluruhan Batam berpotensi menjadi contoh sukses desentralisasi ekonomi, namun hal ini hanya mungkin jika pemerintah pusat memberikan otonomi yang lebih utuh. Tanpa itu, Batam akan terus berada dalam struktur sentralistik dan sulit mencapai kemandirian yang menjadi tujuan utama desentralisasi. (Opini)












