Oleh : Yesica Natalia Sinaga Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji
TANJUNGPINANG,Kepri.info – Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan di Batam terlihat semakin gencar, terutama pada proyek pelebaran jalan di berbagai kawasan strategis. Jalan-jalan utama dilebarkan, bahu jalan diperbaiki, dan beberapa simpang besar ditata ulang.
Sekilas, pembangunan ini tampak sebagai langkah positif untuk memperlancar mobilitas di tengah laju pertumbuhan kendaraan dan aktivitas industri yang terus meningkat.
Namun di balik ambisi memperluas jalan, muncul pertanyaan yang semakin sering dilontarkan masyarakat: mengapa penanganan banjir justru tidak mendapatkan porsi perhatian yang setara? Padahal, banjir menjadi masalah yang jauh lebih mendesak bagi banyak warga Batam.
Setiap musim hujan, genangan tinggi masih muncul di daerah-daerah seperti Bengkong, Batu aji, Muka kuning, hingga Batam Centre. Banjir yang berulang ini bukan hanya menambah kemacetan, tetapi juga merusak rumah, mengganggu aktivitas ekonomi, hingga menimbulkan kerugian material.
Ironisnya, ketika warga sibuk menyelamatkan perabot rumah saat banjir, pemerintah justru lebih sibuk meresmikan proyek pelebaran jalan yang tidak selalu menjawab
masalah inti.
Salah satu persoalan mendasar dari kondisi ini adalah soal desentralisasi dan pembagian kewenangan antara Pemerintah kota Batam dan BP Batam. Dalam praktiknya, dualisme kewenangan ini membuat fokus pembangunan sering tidak sinkron.
BP Batam, misalnya, banyak memprioritaskan infrastruktur pendukung investasi dan mobilitas, termasuk pelebaran jalan, sementara persoalan banjir, yang banyak terjadi di perumahan atau kawasan padat penduduk, menjadi tanggung jawab Pemerintah kota yang anggarannya terbatas. Akibatnya, pembangunan jalan terlihat masif, sementara penanganan banjir terasa lambat dan tidak merata.
Proyek pelebaran jalan memang memiliki nilai visual dan politis yang tinggi: mudah dilihat, mudah dirasakan, dan cepat diresmikan. Berbeda dengan pembangunan drainase atau normalisasi sungai yang prosesnya lebih panjang, biayanya tinggi, dan hasilnya tidak langsung terlihat.
Inilah yang membuat infrastruktur penanganan banjir sering “kalah pamor” dibanding pembangunan jalan. Padahal, tanpa drainase yang baik, pelebaran jalan justru bisa memperburuk kondisi banjir karena area resapan berkurang.
Jika dilihat lebih kritis, fokus yang terlalu besar pada pelebaran jalan tanpa solusi banjir justru melahirkan masalah baru. Jalan memang lebih lebar, tetapi ketika hujan deras turun, air tetap meluap karena saluran tidak memadai.
Mobil boleh melaju lebih cepat di jalan yang dibangun mulus, tetapi tetap akan terhenti ketika bertemu genangan di ujung ruas jalan. Artinya, proyek pelebaran jalan tidak akan pernah mencapai tujuan maksimal jika masalah banjir tidak diselesaikan terlebih dahulu.
Batam membutuhkan pendekatan pembangunan yang lebih seimbang dan terpadu. Pelebaran jalan memang penting, tetapi penanganan banjir jelas jauh lebih mendesak karena menyangkut keselamatan dan kehidupan sehari-hari warga.
Pembangunan jalan harus berjalan berdampingan dengan pembenahan drainase, normalisasi aliran air, serta pengawasan ketat terhadap perubahan tata ruang dan alih fungsi lahan. Selain itu, koordinasi antara Pemerintah kota dan BP Batam harus diperkuat agar arah pembangunan tidak terpecah dan tumpang tindih.
Batam punya potensi besar menjadi kota modern dan tangguh, tetapi hal itu hanya bisa dicapai jika prioritas infrastrukturnya benar-benar berpihak pada kebutuhan dasar masyarakat. Memperlebar jalan memang penting bagi mobilitas, tetapi mengatasi banjir lebih penting bagi keberlangsungan hidup warga.
Pembangunan yang baik bukan sekadar mempercantik kota, melainkan memastikan kota tetap aman, layak dihuni, dan tidak tenggelam setiap kali hujan turun.(Opini)












