Oleh : Chelsy Winda Simatupang Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji
TANJUNGPINANG,Kepri.info – Batam dikenal sebagai kota industri yang modern, pusat investasi, dan wajah kemajuan Kepulauan Riau. Namun di balik Gedung- Gedung tinggi, jalar perdagangan internasional, dan pertumbuhan ekonomi yang agresif, terdapat ironi yang kontras.
Di pulau Lenkang, kecamatan belakang padang, Listrik masih menjadi kemewahan yang tidak stabil. Ketimpangan ini memunculkan pertanyaan untuk siapa sebenarnya kemajuan Batam?
Ketika pusat Kota Batam menikmati Listrik 24 jam, internet cepat, dan fasilitas modern, warga pulau Lenkang justru harus puas dengan Listrik yang hanya menyala sekitar lima jam sehari sehari, dari pukul 18:00 hingga 23:00 setelah itu, pulau Kembali gelap total hanya bergantung pada mesin genset.
Ketergantungan pada mesin diesel tua membuat jadwal Listrik sangat terbatas dan mudah terganggu jika mesin rusak atau bahan bakar terlambat datang. Kondisi ini jelas jauh dari citra Batam sebagai kota megaproyek dan pusat industri strategis.
Padahal, pulau Lenkang adalah bagian sah dari Batam, namun letaknya di wilayah hinterland membuatnya seperti tinggal di kota berbeda. Listrik padam, mesin diesel mogok, dan ketersediaan bahan bakar yang tidak menentu membuat aktivitas masyarakat berjalan serba terbatas. Situasi ini menunjukkan bahwa infrastruktur dasar di wilayah kepulauan tertinggal di wajah modern kota yang selama ini di pamerkan.
Bagi warga yang bekerja sebagai nelayan atau pelaku usaha kecil, Listrik yang tidak stabil berarti kerugian nyata. Teknik penyimpanan hasil tangkapan menjadi sulit, proses pengolahan hasil laut terhambat, dan peluang usaha sulit berkemban. Kontras dengan Batam daratan yang dipenuhi Kawasan industri modern, warga pulau Lenkang harus berjuang hanya untuk menyalakan lampu atau menjaga kulkas tetap hidup.
Sektor Pendidikan dan Kesehatan pun merasakan dampak serupa. Saat sekolah-sekolah di Batam pusat menggunakan perangkat digital, sekolah di pulau Lenkang kerap tidak menyalakan Komputer atau proyektor karena Listrik baru hidup menjelang malam.
Di fasilitas Kesehatan, alat medis tertentu tidak bisa dioperasikan dengan optimal, menciptakan risiko tersendiri bagi layanan dasar masyarakat. Ketimpangan ini jelas menunjukkan bahwa kemajuan Batam belum merata.
Permasalahan Listrik ini juga memperlihatkan lemahnya implementasi desentralisasi, kewenangan berada di daerah, namun tidak di ikuti dengan alokasi anggaran yang memadai maupun prioritas Pembangunan untuk pulau – pulau kecil. Pemerintahan kelurahan dan kecamatan hanya menjadi penyampai keluhan warga, sementara Keputusan teknis ada di Tingkat kota dan PLN. Akibatnya, masalah listrik yang seharusnya dapat diselesaikan terus berulang dari tahun ke tahun tanpa perbaikan berarti.
Padahal, semangat desentralisasi seharusnya membuka peluang Solusi yang lebih inovatif. Energi terbarukan berbasis tenaga surya atau pembangkit hibrida sangat cocok untuk pulau kecil seperti Lenkang.
Selain ramah lingkungan, sistem ini dapat menyediakan Listrik sepanjang hari dan tidak lagi bergantung pada distribusi BBM yang mahal dan tidak stabil. Langkah ini juga sejalan dengan citra Batam sebagai kota modern yang sedang menuju energi bersih.
Ketimpangan antara Batam pusat yang terang benderang dan pulau Lenkang yang hanya menikmati Listrik selama lima jam setiap malam adalah bukti bahwa kemajuan Batam belum menjangkau seluruh wilayahnya, jika pemerintah daerah ingin benar – benar mewujudkan Batam sebagai kota maju yang inklusif, maka wilayah kepulauan seperti pulau Lenkang harus menjadi prioritas sesungguhnya dalam Pembangunan.
Desentralisasi tidak boleh berhenti pada pembagian kewenangan administratif, melainkan harus memastikan seluruh warga termasuk termasuk yang tinggal di pulau terluar memiliki akses terhadap layanan dasar, kemajuan Batam akan kehilangan maknanya jika Sebagian warganya masih hidup dalam gelap, secara harfiah maupun Pembangunan. (Opini)












